MEMBANGUN
BUDAYA KETELADANAN POLITIK
DEMI
TERCIPTANYA POLITIK CERDAS BERINTEGRITAS
A.
LATAR BELAKANG
Mencermati konstelasi perpolitikan nasional belakangan
ini, agaknya kita tidak bisa berharap banyak akan terjadinya perubahan mendasar
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak saja karena ada ketidak jelasan
mekanisme perpolitikan nasional yang harus dimainkan, tetapi juga karena tidak
terbentuknya formulasi masyarakat politik kita (meski dari pemilu ke pemilu
selalu digelar, dan dari rezim ke rezim) secara jelas, transparan dan
Diskusi Politik Berintegritas Mahasiswa STAIPANA Bangil |
Politik yang seharusnya bermakna luhur sebagai ‘tata
kelola hidup bersama’ terasa babak belur oleh dominasi perkara-perkara dan atau
rekayasa yang tidak bermutu (Armada Riyanto, 2011:14). Konstelasi politik
nasional terasa hiruk pikuk dengan kontestasi (rebutan) kekuasaan, antar partai
politik daripada menjadikannya sebagai sarana peningkatan kualitas
berdemokrasi. Bahwa politik adalah kontestasi perebutan kekuasaan tidaklah
salah, tapi kontestasi politik an sich
tanpa disertai dengan perilaku berpolitik yang santun dan beradab hanya akan
mendorong terjadinya pendangkalan politik.
Terbongkarnya perselingkuhan politik rebutan kekuasaan
cenderung dominan. Belum lagi perselingkuhan kuasa politik dengan kuasa ekonomi
di negeri ini turut memperparah kehidupan kebangsaan kita. Kasus ilegal loging yang menyebabkan rusaknya
hutan-hutan kita di luar Jawa, pemanfaatan lahan kosong dengan mall-mall yang
menghilangkan ruang kosong demi kepentingan resapan air saat hujan, dan
berbagai praktek yang mendegradasikan kepentingan bersama adalah fakta politik
paling kongkrit dari model perselingkuhan politik dan ekonomi. Atau antara
penguasa dan pengusaha. Banjir bencana di negeri ini belakangan ini tampaknya
juga tidak lepas dari ‘ulah’ perselingkuhan yang tidak bertanggung jawab tersebut.
B.
RUMUSAN MASALAH
Dari
uraian singkat diatas menunjukkan bahwa proses perpolitikan di Indonesia masih
jauh dari harapan terciptanya budaya teladan politik yang
cerdas dan berintegritas sebagai suatu cita-cita negara demokrasi yang ideal,
dari latar berlakang diatas, penulis
tertarik untuk mengkaji masalah tersebut dengan fokus pada bagaimana membangun teladan politik
cerdas dan berintegritas melalui budaya politik
yang sehat (fitrah) ?
C.
PEMBAHASAN
Realitas politik yang berkembang adalah bagaimana elit
politik (seolah-olah) selalu mengedepankan rasionalitas dan politik peradaban,
meski yang terjadi tidak lebih sekedar hanya merasionalisasi perilaku politik
yang tidak rasional dan tidak beradab. Sarat ambisi (kepentingan) pribadi dan
golongan. Perilaku yang sesungguhnya ‘tidak beradab’ dan ‘licik’ menjadi
‘beradab’ dan ‘santun’, karena kemampuan (kecerdasan ?) mereka
merasionalisasikannya. Benar, kalau Ulil Abshar Abdalla (Kompas, 13/2/2001) kemudian menyebut bahwa seolah-olah politik kita adalah keharusan menerima
‘kelicikan’ yang dilakukan secara ‘beradab’. Kekerasan,
politik uang, dan korupsi –akhirnya- mendominasi warna kehidupan politik di
Indonesia (Haryatmoko,2003:ix).
Kekerasan yang dulu hanya bersifat laten, sekarang
cenderung menjadi manifes dimana-mana. Tidak hanya kekerasan yang berdimensikan
sosial politik, tapi juga kekerasan yang berdimensikan suku, agama dan ras.
Politik uang juga menjadi fenomena umum dan biasa dalam kontestasi politik
dalam pemilihan eksekutif maupun legislatif. ‘Aroma’ uang tidak bisa dibantah
(lagi) turut hadir dalam proses politik pemilihan umum. Kualitas demokrasi
dirusak oleh fenomena politik uang. Istilah ‘Nomor Piro Wani Piro’ (NPWP) memberikan bukti betapa politik uang adalah
fakta politik yang tidak bisa dibantah. Tidak heran jika dalam setiap
kontestasi politik membutuhkan biaya politik yang tidak murah. Citra politik
kekuasaan melekat kuat dengan citra kepemilikan kekayaan bukan kompetensi
pribadi yang layak untuk dipilih. Politik uang mempunyai tujuan kekuasaan. Pada
gilirannya, kecenderungan kekuasaan
adalah semakin memperkokoh dominasi, yang tentu saja membutuhkan fasilitas
penopangnya, terutama ekonomi.
Membangun Budaya Politik
Fakta politik yang (hanya) berisi
kontestasi-kontestasi kekuasaan disertai dengan langgam politik yang buruk dan
mencederai keluhuran politik,memang menjadikan politik bercitra negatif. Seolah
berpolitik selalu berkonotasi dengan ‘pertarungan’ kekuasaan yang tidak pernah
selesai, penuh dengan kebencian satu sama lain, dan selalu melahirkan pemimpin
yang korup. Sebagaimana sindiran Riswandha Imawan (2003) melihat panggung
politik di negeri, jika tidak punya bakat kriminal, jangan sekali-kali memasuki
dunia politik praktis.
Persitiwa politik itu -meminjam terminologi Romo Armada
(2011) - menjadikan dinamisme politik kita yang mengalami proses pendangkalan
makna. Politik tidak lagi bermakna luhur sebagai ‘tata kelola bersama’ melainkan hanya melulu terkait dengan soal harta, tahta dan terkadang ‘asmara’. Tidak heran jika saat ini tidak
sedikit elit politik kita yang terjebak dalam problem yang sama sebagai naluri
dasar kebutuhan manusia tadi; harta, tahta dan asmara. Ada yang terjebak karena
perkara harta, ada yang terjebak oleh pesona tahta, ada yang tergelincir karena
soal asmara, bahkan tidak sedikit yang tergelincir karena ketiganya.
Situasi ini jelas mereduksi makna politik
sesungguhnya. Politik itu memiliki cakupan kedalaman pengalaman hidup manusia,
sebab di dalamnya dikelola kebudayaan, pendidikan dan kecerdasan, well being
(kesejahteraan), relasi personal-komuniter, tata relijius, tata kelola
kehidupan, tata kelola sumberdaya alam dan manusia, hukum dan sistem perasilan,
aneka tradisi kebersamaan, kegotongroyongan, solidaritas dan lainnya (Armada
Riyanto, 2011: 14). Politik adalah sebuah kemampuan mengelola kehidupan bersama
dengan baik dan beradab, menuju kualitas hidup yang lebih baik. Berpolitik itu
sesungguhnya berorientasi pada kemampuan mengabdi pada kepentingan publik/orang
lain. Kerja politik adalah kerja pengabdian. Karenanya, setiap orang yang sudah
memilih politik sebagai jalan hidupnya, sesungguhnya ia sudah mengikhlaskan
dirinya untuk hidup demi kepentingan hajat hidup orang banyak. Politik,
termasuk partai politik adalah rumah pengabdian bagi setiap orang yang rela
mengistirahatkan nafsu pribadi, seperti penguasaan harta-benda, agar dapat
mengabdi secara total demi orang lain.
Kontestasi politik dalam setiap pemilihan umum, baik
pemilihan presiden (pilpres) maupun pemilihan legislatif (pileg) haruslah
dimaknai sebagai tempat masyarakat belajar berdemokrasi. Kalah dan menang dalam
kontestasi adalah kewajaran ketika kita menerima demokrasi sebagai sistem
berpolitik. Yang menang tidak harus bersorak gembira, dan yang kalah tidak
harus sakit hati. Pepatah jawa menyebutnya sebagai menang ora umuk, kalah ora
ngamuk. Semuanya harus dipahami sebagai suatu proses berdemokrasi yang
berkeadaban.
Setiap proses politik adalah pendidikan politik bagi
warga belajar berdemokrasi. Demokrasi bukanlah suatu produk jadi yang tiba-tiba
tercipta dengan sendirinya. Demokrasi merupakan suatu kondisi yang terus
menerus diciptakan. Sebagai proses belajar berdemokrasi, maka ia membutuhkan
komitmen yang tulus dari setiap elite politik untuk memberikan pendidikan
politik yang mencerdaskan. Elit politik terutama di partai politik, baik yang
duduk sebagai anggota legislatif maupun eksekutif, harus dapat menjadi teladan
berpolitik yang baik. Elit politik menjadi figur politik yang selayaknya pantas
diteladani masyarakat dalam menciptakan kualitas berdemokrasi yang lebih baik
Itulah sebabnya, agar keluhuran tidak ternodai oleh
perilaku politik yang buruk, diperlukan upaya serius membangun budaya politik
yang santun dan berkeadaban. Menurut Ignas Kleden (1999: 238) budaya politik
adalah seperangkat nilai, norma, dan kebiasaan yang menjadi dasar tingkah laku
para elite politik, agar dalam setiap proses politik berorientasi pada nilai
(value) yang pantas diteladani. Seperangkat nilai dan norma dalam berpolitik
haruslah menjadi wujud nyata dalam tingkah laku politik. Hubungan antara budaya
politik dan tingkah laku politik bukanlah berarti bahwa yang pertama
mempengaruhi yang kedua, tetapi juga tingkah laku politik akan berpengaruh pada
wujud dan sifat budaya politik. Ini artinya, bahwa tingkah laku politik yang
bersih akan menghasilkan budaya politik yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kejujuran, dan sebaliknya tingkah laku politik yang korup akan menghasilkan
budaya politik yang dengan mudah melakukan penyelewengan kekuasaan.
Bersepakat dengan Haryatmoko (2003: 2-3) budaya
politik dalam konteks ini, (1) mau menekankan normatif, kaidah politik dan
terutama pembinaan nilai-nilai dan perwujudan cita-cita seperti kesejahteraan
umum, keadilan, dan keharuman bangsa, dan (2) budaya politik dimaksudkan sebagai
yang mengarahkan dan membentuk tata hidup, perilaku, dan juga etos bangsa.
Ketika (ber)politik berlandaskan dan berorientasi pada budaya politik yang
demikian, maka politik merupakan aktivitas kodrat sosial manusia yang beradab.
Politik itu ruang pengabdian luhur seseorang demi kehidupan yang lebih baik.
Sebagaimana dikatakan oleh Hannah Arendt, politik merupakan seni mengabadikan
diri manusia, sekaligus seni mengabdikan diri manusia kepada manusia lainnya.
Aktivitas politik yang didasarkan oleh sistem nilai
dan norma membangun civic virtue yang berkeadaban akan membentuk kebiasaan
berpolitik yang, (1) tingkah laku politiknya didasarkan pada apa yang dinamakan
sebagai kepantasan politik (political propriety), dan (2) tingkah laku politik
didasarkan pada moralitas politik (political correctness). (Ignas Kleden, 1999:
238). Jadi, budaya politik yang santun dan baik adalah bila konstelasi politik
melahirkan suatu tingkah politik yang mampu menjamin berfungsinya keluhuran
politik dalam menciptakan kehidupan yang berorientasi pada kesejahteraan,
kesetaraan, keadilan sosial, solidaritas antar sesama, serta prinsip kebebasan
setiap manusia. Intinya, budaya politik itu menjamin kualitas tata kelola
kehidupan bersama menjadi lebih baik. Budaya politik yang baik melahirkan
kualitas pengelolaan kehidupan publik yang memiliki keutamaan, dan akhirnya
akan mendorong terciptanya kualitas penguatan demokrasi dalam masyarakat kita.
D.
KESIMPULAN
Orientasi kekuasaan telah menenggelamkan semua
keberadaban dan kecerdasan. Pertarungan merebut kekuasaan tak lagi bernuansakan
pada ‘kecantikan’ dalam berpolitik, tetapi sudah dihinggapi pada bentuk-bentuk
kebencian dan prasangka sosial akut, yang lebih mengedepankan rasionalitas
tujuan ketimbang rasionalitas nilai. Endapan ‘virus kebencian’–dengan demikian-
telah meluluhlantakan fakta-fakta obyektivitas kebenaran, tetapi disesaki oleh
keinginan (kebencian) untuk semakin menambah dan memperlebar ‘lubang’ kesalahan
lawan po lit iknya.
Selama bangunan masyarakat politik kita masih
mengedepankan politik kekuasaan berbasiskan ‘kebencian’, maka selama itu pula
jaminan berakhirnya krisis sosial-politik dan ekonomi tidak lebih sekedar
‘mimpi’. Reformasi yang semula memberikan harapan bagi terciptanya clean
government(pemerintahan yang bersih) justru hanya melahirkan suatu pemerintahan
yang ‘sarat’ dengan skandal politik. Reformasi yang semula memberikan harapan
bagi terpenuhinya rekrutmen elit politik (DPR/MPR) yang mengedepankan
kepentingan rakyat, justru hanya melahirkan politisi yang sibuk dengan urusan
(kepentingan kelompok) masing-masing. Yaitu politisi yang sibuk membela
kepentingan kelompok (partai) meski yang dibela belum tentu benar.
Demikianlah kalau berpolitik tanpa dibarengi
pembentukan karakter berpolitik yang cerdas dan bermoral. Selain kian membuat
ketidakjelasan konstruksi masyarakat politik kita, ia hanya akan menghasilkan
sejumlah politisi yang hanya pandai ‘berdebat’ tetapi miskin sikap kearifan
sebagai
seorang negarawan. Yach ! itulah arah reformasi di negeri ini. Sebuah
proses (reformasi) politik yang tidak dilandasi ketulusan membangun peradaban
negeri ini menjadi lebih baik, melainkan disesaki dengan sejumlah nafsu untuk
‘berkuasa’ dan ‘memperkaya’ diri. Saatnya kita bangun budaya politik yang
santun dan baik, demi martabat kita sebagai manusia yang homo homini sosius
bukan homo homini lupus. Wallahu a’lam bis ashowab.
Sumber Bacaan:
Ø Haryatmoko, 2003, Etika Politik dan
Kekuasaan, Yogyakarta: Kanisius
Ø Kleden, Ignas, 1999, “Budaya Politik
atau Moralitas Politik” dalam Tim MAULA, 1999, Jika Rakyat Berkuasa, Upaya
Membangun Masyarakat Madani dalam Kultur Feodal, Bandung: Pustaka Hidayah
Ø Riyanto, E. Armada, 2011,
Berfilsafat Politik, Yogyakarta: Kanisius
0 Komentar